Yayasan Keris Nangtung resmi di-aktanotaris-kan pada 14 November 2008. Keris Nangtung menampung dan merehabilitasi orang-orang sakit gangguan mental. Inspirasi datang tatkala Dadang masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil di Perusahaan Listrik Negara. Saat itu, Dadang melihat seorang penyandang sakit jiwa yang sedang mengais-ngais makanan di tong sampah. Ia mengaku tersentuh, kemudian mengenang masa lalunya yang buruk sebagai pemuda nakal yang suka minum-minuman. Dadang berpikir, andai tidak berhenti mabuk saat itu, mungkin sekarang ia sudah seperti orang gila tersebut.
Kejadian itu seolah menjadi titik balik dalam perjalanan hidup Dadang. Pucuk dicinta ulam tiba tatkala Dadang menemukan rekan yang satu pemikiran dengannya. Ada Taufik Ahmad Rifai dan Rofi Setiawan, kakak iparnya yang ahli pengobatan spiritual. Maka, di tahun 2008 bersama-sama mereka mulai merawat orang-orang sakit jiwa yang menggelandang di jalanan.
Saat ini Dadang dan istrinya tinggal di bekas ruko terminal Cilembang, Tasikmalaya, bersama dengan pasien-pasien sakit jiwanya. Selalu saja ada hambatan ketika akan melakukan tindakan-tindakan mulia. Ketika misi kemanusian ini mulai dirintis, Dadang ditentang dan dihina oleh sanak saudaranya. Hanya tekad kuat dan niat ikhlas Dadang yang membuat misi kemanusiaan ini terus berjalan.
Tak sedikit orang yang meremehkan perjuangan Dadang. Saat mencari dana dan donatur ke beberapa pihak, Dadang tak jarang ditolak dan harus mendengar kata-kata tidak sedap. Cacian dan hinaan tidak lantas membuat Dadang berkecil hati. Ia tetap berjuang dan bersabar. Sampai akhirnya, salah satu stasiun televisi nasional meliput apa yang dilakukannya. Yayasan Keris Nangtung pun menjadi terkenal.
Selain didukung rekan-rekannya, dukungan paling utama tentunya dari sang istri tercinta, Ai Siti Jainap. Ai tidak pernah malu mengurusi yayasan dan tinggal di ruko jelek walau dihina keluarga dan kerabatnya. Sehari-hari Ai membantu meyiapkan makan dan dan segala urusan rumah tangga di yayasan tersebut. Ai juga menjadi ibu asuh bagi bayi-bayi pasien penyandang gangguan jiwa yang melahirkan di sana. Saat ini, ia merawat dua bayi berusia 2 minggu dan 10 bulan.
Sebuah bangunan tua di tepi Jalan By Pass Ir H Djuanda, Tasikmalaya dindingnya banyak lubang dan coretan-coretan arang hitam. Jika malam tiba, suasananya sangat gelap, kecuali beberapa lampu penerangan yang masih tersisa. Lampu jalan di depan bangunan itu pun tidak menyala. Kalau hujan, atap sudah pasti bocor. Melihat bangunan itu, siapa pun berpikir jika bangunan bekas terminal Cilembang yang terakhir digunakan lima tahun lalu itu sangat tidak layak untuk ditempati. Tapi siapa menyangka, di balik bangunan kumuh dan tua itu ada sebuah yayasan sosial di dalamnya.
Sebelum tiga tahun lalu, jalan-jalan di kota Tasikmalaya banyak ditemui orang terlantar yang menderita gangguan jiwa. Kehadiran mereka seringkali meresahkan warga, karena pakaian mereka yang lusuh compang-camping, tubuh yang bau, kotor, dan sering berbicara sendiri. Sehingga tidak heran jika banyak warga yang selalu menjauh ketika bertemu, atau bahkan mengusirnya. Namun sejak 2008, jalan-jalan di Tasikmalaya sangat jarang ditemui ‘orang gila’. Adalah Dadang Heriyadi (42), bersama dua orang temannya, Taufik dan Ahmad Rovi (45) yang berperan dibalik ‘pembersihan’ jalanan dari orang-orang ‘tidak waras’. Mereka lah pencetus sekaligus pendiri yayasan ini.
Mereka bukan pegawai pemerintah, hanya warga biasa. Berawal ketika suatu hari Dadang melihat seorang penderita gangguan jiwa sedang mengambil sisa-sisa makanan dari tumpukan sampah yang diurainya, lalu dilahapnya. Rasa getir sekaligus iba muncul seketika. Dadang lalu mengajak temannya, Taufik dan Rovi membentuk yayasan. Bagi Dadang, mengurusi penderita psikotik menjadi pilihan hidupnya untuk mengabdi pada kemanusiaan, hanya dengan bermodalkan Sajuta (Sabar, Jujur, Tawakal). Demi amal kemanusiaan mengurusi orang-orang ini, pria bersahaja ini harus ‘menggadaikan’ enam tahun profesinya sebagai karyawan outsourcing di PLN.
Beruntung istri dan keluarga Dadang mendukung ‘langkah aneh’-nya meski penuh kecemasan di awalnya. Sejak didirikan tiga tahun lalu, sudah 300 lebih penderita psikotik yang diambil dari jalanan kota Tasikmalaya. Tak kurang dari 100 orang yang sudah kembali sadar dan kembali kepada keluarga mereka. Sebagian lagi ada yang kabur. Saat ini masih ada 84 penderita psikotik yang masih ‘nyantri’ di Keris Nangtung. Mereka menempati enam kamar bekas kios-kios berukuran 5×6 meter dan 6×8 meter.
Setiap hari, pengurus Keris Nangtung membina mereka tanpa segan. Memberi makanan, olah raga, musik, sampai pengajian. Entah, mereka ini paham atau tidak ketika dikuliahi pengajian. Bahkan tidak segan para pengurus juga memandikan mereka setiap pagi, diberikan pakaian yang lebih layak dan kamar-kamar mereka selalu dibersihkan. Selain Dadang, Rovi, dan Taufik, ada enam orang lain lagi yang membantu mengurus. Beberapa pengurus malah dulunya ‘alumni’ yang juga ‘menyantri’ di yayasan ini. Setelah kembali sadar, mereka lebih mengabdikan diri untuk ikut membina daripada kembali ke keluarganya.
Pada dasarnya, para penderita sakit jiwa juga adalah bagian dari masyarakat, hanya status sosial mereka berada pada tingkat yang paling rendah. Oleh karena itu, mereka seringkali tersisihkan dari kehidupan karena dianggap tidak lagi berguna. Sebagai lembaga kemanusiaan, Dompet Dhuafa sangat mengapresiasi kerelawanan dan kepedulian Yayasan Keris Nangtung mengurusi para penderita penyakit jiwa ini. Apresiasi ditunjukkan dengan membantu subsidi biaya operasional Rp 8 juta per bulan, dan mendirikan bangunan yang lebih layak untuk pusat rehabilitasi psikotik. Pusat rehabilitasi senilai Rp 500 juta ini nantinya akan dipinjamkan kepada Yayasan Keris Nangtung pemberdayaan para psikotik.
Kegiatan yayasan Keris Nangtung kini mulai banyak menerima bantuan baik dari donatur tetap maupun tidak tetap. Bahkan, kini mereka memiliki beberapa relawan, termasuk mantan pasien yang kini sembuh total. Kondisi ini meringankan beban para pengurus yang telah mengorbankan tenaga dan materi untuk perjuangan kemanusiaan ini. Namun demikian, usaha membantu para penderita penyakit jiwa ini tentu memerlukan kesediaan dan kerelawanan banyak pihak dan bahu membahu. Tidak cukup Dompet Dhuafa, karena hakikatnya, mereka adalah kelompok duafa yang perlu bantuan dan bimbingan agar dapat kembali hidup normal dan menjalani aktifitas sebagaimana manusia lainnya.
0 Response to "Dadang Heriadi - Penjemput Para Sakit Jiwa"
Posting Komentar